Tantangan Jurnalisme Digital
Ada dua hal yang mempengaruhi media massa belakangan ini. Pertama, adalah disrupsi digital yang semakin masif. kemudian yang kedua adalah kita memasuki pasca pandemi yang sangat mengubah pola bisnis media di Indonesia.
Pada saat masih berada di media konvensional, para jurnalis mengusai seluruh aspek media. Sedangkan media kekinian berubah total, bahkan ada masalah distribusi ke pengakses.
Jika dahulu media konvensional bisa mengatur distribusi dan bahkan berkembang, kini distribusi dikuasai oleh pengembang raksasa dunia digital seperti google dan media sosial.
Keduanya adalah dua distributor teratas ke pengakses setelah itu ada babe sampe percakapan pribadi WhatsApp dan Line.
Masalah lain di sektor media digital adalah soal iklan. salah satu efek disrupsi digital adalah beberapa pengiklanan banyak lari ke platform media sosial.
Di sisi lain, disrupsi digital itu membuat hidup mati media massa di ujung tanduk. Agar dibaca, semua media berlomba memberikan berita teraktual dan tercepat. Akibatnya yang terjadi adalah banyak berita yang serupa, Belum lagi, pandemi covid-19 mengakselerasi disrupsi ini
Ketika berita cenderung sama atau homogen, relevansinya untuk kebutuhan publik menurun. Secara jangka panjang kepercayaan publik juga akan menurun. Pada gilirannya, kekayaan konten juga akan menurun pula. Ini yang membuat urgensinya menjadi semakin kuat, karena pandemi mengakselerasi disrupsi digital.
Ketika disrupsi itu, terjadi pula apa yamg disebut Elin Kristi sebagai krisis eksistensi pada jurnalisme. Elin Kristi, Wapemred Liputan6.com, mengatakan bisnis media saat ini pun masih dalam proses menemukan bisnis model jurnalisme digital.
Pada era digital ini, beragam tantangan juga bermunculan. “Masyarakat sekarang punya kemampuan dan keleluasaam untuk menyuarakan dirinya sendiri. Setiap orang bsia memnuat media di era digital ini,” imbuh Elin, wartawan kawakan yang memulai karirnya di media Jawa Pos.
Menurut Elin, pendapatan media berita turun drastis dalam beberapa dekade terakhir. “There is no clear busines model to sustain news in digital era. High quality content is the key, but good journalism does not come free,” katanya dalam layar presentasi menjelaskan realitas media digital kini.
Selain itu, ada pula ancaman munculnya hoax dari media sosial. Terutama hoax soal covid-19. Meningkatnya hoax Covid19 di era pandemi secara substantif meningkatkan pula permintaan media yang terpercaya.
“Dari sini kami belajar bahwa melakukan cek fakta, media tak bisa berjalan sendirian. Kita harus bersama publik,” kata Elin, yang juga adalak aktivis digital literacy dan cekfakta.com, ini.
Para narasumber dalam webinar ini semuanya tergabung dalam IFCN international fact checking network. Media-media yang tergabung dalam IFCN berkomitmen dalam melawan hoax. Demi meraih kepercayaan publik, hanya komitmen tersebutlah yang dapat membuat publik mudah menentukan mana yang terpercaya di tengah banjir konten pada era digital kini.


Komentar
Posting Komentar